Secara politik Indonesia menganut paham demokrasi, yaitu kedaulatan adalah di tangan rakyat, juga secara ekonomi Indonesia adalah negara demokrasi. Tampaknya para pendiri Republik kita ingin menyatakan bahwa demokrasi politik saja tidak mencukupi karena harus disertai demokrasi ekonomi. Sejalan dengan itu, UUD 1945 dirumuskan di atas jiwa, semangat dan landasan demokrasi. Namun rumusannya masih tampak bersifat terlalu umum dan sangat singkat, sehingga di dalam prakteknya semangat demokrasi dalam UUD 1945 dapat ditafsirkan sesuka-sukanya oleh yang sedang berkuasa.
Diskursus demokrasi di Indonesia telah melewati perjalanan sejarah yang panjang. Berbagai gagasan dan cara telah dicoba dilakukan guna memenuhi cita-cita demokratisasi. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut telah dilakukan melalui perumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia. Di zaman pemerintahan Soekarno (Orde Lama) dikenal model demokrasi yang disebut Demokrasi Terpimpin, dan berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto (Orde Baru) diperkenalkan dan dijalankan model demokrasi yang disebut Demokrasi Pancasila. Namun, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim tersebut malah memunculkanpemerintahan otoriter, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Proses demokratisasi di Indonesia yang dihasilkan oleh gerakan reformasi di tahun 1998 telah merubah secara substansial sistem bernegara bangsa kita dan membuat Indonesia sekarang menjadi negara demokrasi
ketiga terbesar di dunia.
ketiga terbesar di dunia.
Dibanyak negara demokrasi “dipaksakan”, misalnya pada akhir Perang Dunia II oleh negara-negara yang menang perang, yang kebetulan atau tidak, sebagian besar menganut paham demokrasi ke negara-negara yang kalah perang, yang umumnya adalah negara-negara otoriter. Demokrasi di Jerman dan Jepang adalah hasil dari proses pengakhiran permusuhan bukan hanya antara negara-negara yang berseteru tetapi antara sistem politik yang berlawanan. Namun Perang Dunia II melahirkan sistem otoriter baru, yaitu komunisme, yang juga akhirnya “kalah” bukan dalam “perang fisik”, tetapi dalam “perang ekonomi” dan opini publik oleh negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Sekarang upaya “demokratisasi” dari luar, kembali sedang dilakukan di Irak, Afganistan, Myanmar dan sebagainya. Di Indonesia proses demokrasi terjadi karena gerakan dan dinamika politik bangsa kita sendiri. Dan pengalaman itu membuat demokrasi Indonesia sangat dihargai dan dihormati. Antara lain bangsa Indonesia memperoleh “Democracy Award” dari International Association of Political Consultants pada bulan November 2007 yang lalu. Sebuah sistem politik memerlukan berbagai prasyarat untuk dapat diakui sebagai demokratis. Prasyarat tersebut telah dimiliki oleh Indonesia, diantaranya kelengkapan perangkat demokrasi, seperti lembaga legislatif berupa Dewan Perwakilan Rakyat dari tingkat daerah hingga pusat, maupun jalur nonpolitik representasi masyarakat yang diakomodasi lewat Dewan Perwakilan Daerah. Sistem pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, keberadaan partai-partai politik yang dibentuk masyarakat secara bebas tanpa intervensi apapun dari kekuasaan, hingga sistem pers bebas yang dapat memerankan fungsi pengecekan dan keseimbangan (check and balance). Kepala pemerintahan dari tingkat desa sampai tingkat nasional telah dipilih langsung oleh rakyat. Perangkat-perangkat itulah yang telah menggerakkan roda demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Pertanyaannya kemudian, apakah kemajuan demokrasi politik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini telah menghasilkan kemajuan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat luas sebagaimana yang menjadi cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia? Bila tingkat kesejahteraan masyarakat dinilai dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang dicapai, terdapat sedikit kemajuan selama beberapa tahun terakhir. IPM Indonesia kini berada di peringkat 108 di antara negara-negara di dunia setelah beberapa tahun sebelumnya berada pada peringkat 110. Namun peringkat tersebut masih sangat rendah dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Dengan seluruh potensi yang dimilikinya, Indonesia semestinya dapat mencapai peringkat 90 atau bahkan lebih baik lagi dalam tempo yang tidak lama. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kemajuan demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir belum cukup nyata memberi pengaruh pada kemajuan kesejahteraan masyarakat.
Lalu Masalahnya Apa?
Akibat dari ketidakpuasan terhadap kinerja demokrasi di Indonesia telah timbul semacam arus balik (backlash) terhadap proses demokrasi di Indonesia; seperti antara lain tercermin dari ungkapan-ungkapan berikut ini:
• demokrasi sudah kebablasan; atau
• sudah salah kaprah;
• demokrasi paham dunia barat untuk menjajah dalam bentuk baru (neo-kolonialisme);
Akibat dari ketidakpuasan terhadap kinerja demokrasi di Indonesia telah timbul semacam arus balik (backlash) terhadap proses demokrasi di Indonesia; seperti antara lain tercermin dari ungkapan-ungkapan berikut ini:
• demokrasi sudah kebablasan; atau
• sudah salah kaprah;
• demokrasi paham dunia barat untuk menjajah dalam bentuk baru (neo-kolonialisme);
• kembali saja ke UUD 1945 yang asli.
Seharusnya seperti dikemukakan terdahulu bahwa demokrasi berjalan beriringan dengan kesejahteraan. Ditahun 1959, Martin Seymor Lipset membuat sebuah hipotesis yang sampai sekarang tidak terbantahkan yaitu negara-negara yang kaya umumnya adalah demokratis dan negara negara yang demokratis umumnya kaya. Samuel Huntington (1996) mengadakan penelitian bahwa dengan pendapatan per kapita antara $1000 sampai $3000, negara yang menganut paham otoriter akan memasuki zona transisi menuju proses demokrasi. Hal ini diperkuat oleh banyak peneliti dan pakar lain seperti Adam Przeworski (2000) dan Fareed Zakaria (2003).
Secara empiris telah jelas dibuktikan bahwa ada korelasi yang erat antara sistem politik yang ditempuh dengan tingkat kemajuan ekonomi. Memang ada perkecualian seperti Sri Lanka yang sistem politiknya adalah demokrasi, tetapi ekonominya mandeg. Tapi itu disebabkan karena konflik-konflik internalnya. Demikian juga India, seperti telah dicontohkan di atas, sebagai negara demokrasi “tertua” di Asia dan yang paling bertahan di negara-negara yang baru merdeka sejak Perang Dunia II, yang untuk jangka waktu yang lama ekonominya stagnan. Tetapi banyak pengamat menilai bukan karena demokrasinya, tetapi problem sosialnya yang sangat tajam seperti konflik etnik dan masalah kasta. Meskipun dengan menghadapi masalah-masalah yang demikian mendasar, baik struktural maupun kultural, India belakangan ini telah mulai tumbuh maju secara ekonomi, yang menafikan skeptisme terhadap demokrasi di luar dunia barat.
Kita melihat Turki, yang demokrasinya jatuh bangun, tetapi belakangan ini telah lebih mantap meskipun di “jaga” oleh kekuatan militer yang sangat sekuler secara ketat, ekonominya telah bergerak maju, dan sebagai produknya, tumbuh kaum kelas menengah muslim, yang akhirnya melahirkan kemenangan politik bagi partai politik yang bernafaskan Islam. Dari berbagai uraian itu ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil, adalah
- Demokrasi bila prasyarat untuk menjalankannya dipenuhi, adalah sistem yang sudah terbukti bertahan selama ratusan tahun.
- Semua sistem lawannya telah tumbang satu-persatu (monarki absolut, fasisme, komunisme).
- Demokrasi berpotensi dapat menghasilkan kesejahteraan karena hak-hak politik dan sipil anggota masyarakat yang terlindungi, dan dengan demikian juga kreativitas dan inovasinya.
Apabila demokrasi tidak menghasilkan kemajuan dan perbaikan kesejahteraan, ada 2 (dua) kemungkinan penyebabnya:
- Demokrasi yang dijalankan tidak benar, dalam arti tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
- Kebijakan-kebijakan publik yang dijalankan tidak ditujukan untuk menghasilkan perbaikan kesejahteraan.
Demokrasi hanyalah sebuah sistem politik, maka untuk menghasilkan kemajuan sosial ekonomi perlu diikuti oleh kebijakan-kebijakan publik yang ditujukan untuk kemajuan sosial ekonomi. Dengan sudut pandang itu kita bisa melihat dimana letak ”kesalahan” dari sistem demokrasi yang sedang kita jalankan, terutama sistem dan pelaksanaan demokrasi politik itu sendiri.
Demokrasi kita tidak berjalan secara demokratis, dalam arti tidak semua anggota masyarakat menikmati hak politik yang sama. Partai-partai politik menguasai seluruh kegiatan politik tanpa menyisakan pada kekuatan demokrasi lainnya, yang sama pentingnya dalam sebuah demokrasi yaitu civil society atau masyarakat madani. Salah satu indikatornya untuk menjadi anggota DPR seseorang harus menjadi anggota partai politik. Gubernur, Bupati dan Walikota juga harus berasal dari partai politik. Bahkan Presiden pun hanya boleh dicalonkan oleh partai politik. Akibatnya partai politik berfungsi menjadi makelar politik, dan sebagai akibatnya menyebabkan ”mark up” dalam biaya politik; yang menimbulkan gejala mahalnya ongkos politik di Indonesia, yang berarti hanya kaum elit yang menguasai kekayaan dan sumberdaya kekuasaan yang dapat menjalankan peran politik. Sekarang calon kepala daerah sudah boleh dari perorangan, tetapi diembel-embeli dengan syarat yang sangat sulit untuk bisa terpenuhi.
Politik uang telah menyingkirkan pertimbangan-pertimbangan obyektif dan rasional yang semestinya menjadi pertimbangan utama dalam berdemokrasi. Akibatnya proses politik menjadi buntu, dan aspirasi masyarakat meskipun telah disuarakan oleh pers yang bebas, tetapi tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan politik. Akibatnya pula terjadi paradoks antara apa yang menjadi aspirasi dan kehendak masyarakat dengan apa yang difikirkan dan diputuskan oleh elit politik. Demokrasi yang terbangun dengan cara demikian tak akan mampu menyejahterakan rakyat secara keseluruhan.
Proses pengambilan keputusan di dalam partai-partai politik itu sendiri belum mencerminkan proses demokrasi, sehingga yang sekarang terjadi kekuasaan otokrasi digantikan oleh kekuasaan oligarki. Badan-badan, baik yang ada dalam konstitusi maupun yang diatur dalam undang-undang, anggota-anggotanya harus melalui pertimbangan atau persetujuan DPR (partai politik) mulai dari MA, MK, BPK, KY, Gubernur BI, KPK, KPU, BP Migas dan banyak lagi lembaga negara yang diatur oleh undang-undang (yang nota bene dibuat oleh DPR); demikian pula jabatan-jabatan penting seperti Panglima TNI dan Kapolri, sehingga menyebabkan DPR memiliki kekuasaan yang amat sangat luar biasa. DPR juga memegang kewenangan yang mestinya urusan eksekutif, seperti peralihan fungsi hutan dan pengangkatan duta besar kita, bahkan sampai persetujuan duta besar negara asing ke Indonesia. Yang menjadi masalah, siapa atau lembaga mana yang mengawasi DPR dalam menyelenggarakan kekuasannya itu?
Pemekaran daerah, sebagai usaha memperkuat otonomi dan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat, tidak menghasilkan kesejahteraan tetapi justru merugikan karena dana-dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan pembangunan, menjadi tersedot untuk membiayai aparat birokrasi termasuk institusi-insitusi politik seperti DPRD. Bahkan melalui desentralisasi dirasakan makin besar ketimpangan antardaerah, terutama antara daerah-daerah yang kaya dengan daerah-daerah yang miskin sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Otonomi daerah yang seharusnya menjadi instrumen memeratakan kemakmuran dirasakan oleh masyarakat justru hanya memakmurkan para pejabat di daerah dan bukan rakyat; dan membuat daerah yang kaya tambah kaya, sedangkan yang miskin tetap miskin kalau tidak makin miskin; juga telah terjadi “desentralisasi” korupsi.
Amandemen konstitusi telah melahirkan berbagai lembaga konstitusi baru yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan memperkuat sistem ketatanegaraan kita. Dalam prakteknya yang terjadi sekarang adalah konflik-konflik antar lembaga negara, oleh karena tidak jelasnya peranan dan fungsi serta batas-batas kewenangan yang diberikan kepada lembaga-lembaga negara. Contoh yang amat menonjol adalah, telah diciptakan sebuah lembaga perwakilan yang baru untuk memperkuat sistem parlemen kita dan mengefektifkan sistem checks and balances antara lembaga-lembaga negara termasuk antar lembaga perwakilan; yaitu Dewan Perwakilan Daerah. Dalam kenyataannya lembaga perwakilan daerah tersebut meskipun legitimasinya tinggi karena dipilih langsung oleh rakyat, ketimbang anggota DPR yang dipilih melalui partai, tidak diberi kewenangan dan fungsi yang tegas, sehingga membuat sistem menjadi rancu dan tidak memperbaiki kualitas demokrasi.
Demokrasi pada hakekatnya adalah kehendak orang yang terbanyak, tetapi dengan melindungi yang kecil atau minoritas. Khususnya di Indonesia, demokrasi harus mencerminkan pluralitas bangsa kita, yang antara lain menjadi tujuan adanya lembaga legislasi kedua tersebut. Namun sistem yang dibangun oleh reformasi dengan biaya yang cukup mahal ini tidak difungsikan dengan baik. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, sehingga transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel.
Sumber : Berbagai Sumber